Cerpen
Puisi Aisa
Karya:
Lisa Anggraini
Asing.
Satu kata yang aku ucapkan setelah 6 tahun kepergianku dari rumah. Di meja itu,
dulu tersaji secangkir teh hangat dan pisang goreng yang dimasakkan memang
untukku. Aku memasuki rumah dan melihat ke sekeliling. Rumah ini kosong dan
sangat tidak terawat. Hanya ada barang milik Raisa, anak perempuanku
satu-satunya yang masih tertata rapi di kamarnya. Sedangkan Andi, anak
laki-lakiku sudah ikut dengan istriku yang memilih menikah lagi. Ini pertama
kalinya aku memberanikan diri kembali ke rumah.
Sejak
kepergianku dihari itu, meski diberikan waktu sekali lagi oleh semesta, aku
tetap tidak berani untuk melihat istri dan anak-anak yang aku tinggalkan. Aku
takut akan semakin berat melepas mereka sedangkan aku sudah tidak bisa
melakukan apa-apa lagi. Sampai aku tahu bahwa istriku menikah lagi, entah
mengapa rasanya sangat sakit mengingat dia adalah satu-satunya wanita yang
sangat aku cintai dalam hidupku setelah ibu. Sudahlah itu hanya masa lalu, saat
ini aku hanya ingin memastikan bahwa Raisa, anakku baik-baik saja. Namun saat
hendak memasuki kamar istriku, aku mendegar suara motor yang memasuki
pekarangan rumah.
“Terima
kasih, pak. Sudah mau repot-repot anter Aisa.” Ah, ternyata anakku sudah
pulang. Kebetulan sekali saat kedatanganku, Raisa juga ada disini. Aku baru
sadar bahwa saat ini adalah liburan semesternya. Ah iya, meski aku tidak pernah
ke rumah ini, tapi aku selalu ke rumah Ihwan dan mendengar kabar Raisa darinya,
bahwa saat ini Raisa sedang memasuki bangku kuliah semester akhir. Dan saat ini
Ihwan jugalah yang sedang mengatarkannya pulang ke rumah, mungkin Ihwan
menjemputnya di loket.
“Aisa,
jangan sungkan-sungkan ya, nak. Kalau butuh apa-apa bilang saja sama bapak.
Anggaplah bapak ini bapakmu juga.” Ihwan, kau memang memegang teguh amanah
dariku, kau menjaga Raisa dengan baik.
“Ah,
bapak jangan terlalu baik sama Aisa, Aisa jadi ga enak, nih. Setelah ini Aisa
janji ga akan repotin bapak lagi.” Raisa, anakku sudah gadis rupanya, sangat cantik
dan pintar juga. Sekarang aku menyesal tidak pernah menjenguknya barang
sekalipun.
Aku
melihat Raisa membawa koper dan barang yang cukup banyak, aku jadi bingung,
kenapa barang bawaannya sangat banyak, apakah Raisa akan tinggal lama di sini?
Kalau iya, aku akan sangat senang, bisa menghabiskan waktuku untuk menjaga
permata indahku.
Bersamaan
dengan kepergian Ihwan, Raisa langsung membuka pintu rumah. Namun, betapa aku
sangat terkejut, senyum cerah yang ditunjukkannya pada Ihwan saat mengucapkan
terima kasih tadi luntur seketika saat dia menutup kembali pintu. Kulihat dia
terduduk lemas, perlahan, dia menguraikan air mata dan menangis tersedu-sedu.
Isakannya ditahan sebaik mungkin dan berakhir dengan sesegukan. Dikeluarkannya
semua barang-barang yang ada di dalam tas sandangnya. Ada dompet, cermin,
handphone, beberapa pisau cutter,
gunting, dan banyak barang tajam lainnya. Batinku bergemuruh, untuk apa anakku
menyimpan barang-barang seperti ini?
Tangisnya
semakin deras, dia memeluk lutut dan menenggelamkan seluruh kesedihannya di dalam
rumah ini. Ditengah sepi. Sendiri. Hanya ditemani oleh aku, yang hanya seorang
arwah. Lalu kulihat Raisa membuka buku kecilnya, dan menuliskan kalimat yang
aku tak tau maknanya, aku tak paham bahasa inggris. Tertulis disana, “I’ll die today. I want to kill myself. God,
pls help me!”
Aku
berpikir mungkin Raisa sedang ada masalah percintaan, biasa anak muda. Lalu
kulihat Raisa beranjak pergi ke kamar istriku, tetapi saat itu aku melihat
Raisa menjatuhkan notes lamanya, dan akupun iseng membaca salah satu puisi yang
dia tulis.
Aku rindu ayah
Hari
ini, tepat enam tahun aku kehilangannya
Tanpa
pernah bertukar kabar
Apalagi
mengadakan sebuah pertemuan
Tanpa
tahu apakah aku baik-baik saja setelah beranjak dewasa tanpa dirinya
Tanpa
tahu apakah dia bahagia di sana tanpa kami semua?
Mustahilkah?
Jika
aku menginginkan sosoknya kembali?
Mengharapkan
dia yang sudah menghadap ilahi untuk hadir di sini
Menemani
masa-masa sulitku
Seperti
yang dia lakukan dulu
Ibuku
bilang ayah sudah bahagia disana
Aku
percaya hal itu
Akan
tetapi rasa rindu yang ada dihatiku semakin memaksaku ingin segera bertemu
dengannya
Aku
merindukan ayah, bu…
Aku
rindu menatap wajah lelahnya sepulang kerja, dan diapun berkata, “Belajar yang
rajin, kau harus bisa sukses dan berpendidikan tinggi. Jangan seperti ayah
nak,”
Aku
rindu mendengar nasehatnya, yang selalu berkata, “kejar impianmu, jangan
pikirkan soal uang, ayah akan carikan meski harus menyelami lautan. Untuk
suksesmu yang akan selalu ayah tunggu.”
Aku
takkan pernah melupakan kalimat itu
Aku
juga merindukan keluarga kita kembali lengkap
Tapi
ibu malah meninggalkanku sendirian
Aku
sudah tidak sanggup, Bu
Ini
semu atidak adil
Biarkan
aku menyusul ayah
Aku
yakin pasti ayah tidak akan meninggalkanku
I’ll
die today. I want to kill myself. God, pls help me!
Aku
akan mati hari ini. aku akan membunuh diriku. Tuhan, tolong bantu aku!
Raisa,
Januari 2017
Deg!
Aku
sangat terkejut melihat arti dari kalimat yang ditulis oleh Raisa di puisinya.
Dan kalimat itu sama dengan kalimat yang baru saja ditulisnya. Pikiranku seakan
kacau, aku sangat takut Raisa melakukan hal yang salah. Bergegas aku
menyusulnya ke kamar istriku, tapi sayang, aku terlambat, aku merasa akan mati
dua kali dalam hidup dan rasa sakitnya tidak jauh beda saat nyawaku dicabut 6 tahun lalu.
“Ayah!”
Raisa datang memelukku.
“Aisa
kangen sama ayah, sekarang Aisa udah ga kesepian lagi karena ada Ayah.” Raisa
tertawa, dan sorot matanya sudah tidak menggambarkan kesedihan. Bagaimana bisa?
Aisa pergi secepat ini?
“Ayah
seneng gak? Aisa bisa lihat ayah, lho!” Serunya dengan raut bahagia, dia
mengajakku keluar rumah, tapi sebelum itu aku tidak bisa memalingkan
pandanganku untuk menatap Raisa yang terbujur kaku, pucat, dan dingin
menggantungkan diri di kamar isrtiku. Ada luka sayatan di nadinya dan aku baru
sadar sayatan itu ada diseluruh tubuhnya.
“Aisa!!!”
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Haruskah aku marah, sedih, kecewa
atau menangis pada Raisa? Pada jasad atau arwahnya?
SELESAI
Komentar
Posting Komentar