Cerpen

 

Sepasang Takdir

Karya: Lisa Anggraini



Kau pernah mendengar cerita mengenai sepasang takdir? Ya, mereka adalah takdir baik dan takdir buruk. Lantas, pernahkan kau terjebak dalam takdir buruk setiap waktu? Atau malah sebaliknya, hidupmu penuh dengan takdir baik. Jika benar begitu maka aku akan menyebutmu orang yang tidak beruntung. Sebab kau tak pernah merasakan luka yang diselipkan takdir buruk disetiap langkahmu. Yang akan menguatkanmu. Berbeda denganku. Takdir buruk selalu menimpaku setiap waktu, membungkam mulutku, sampai tak ada kata yang bisa kuungkapkan lagi. Lukaku sudah terlalu parah, menganga, hingga darahnya berdesakan ingin keluar. Banyak orang bilang aku harus menyudahi tangisku, buat apa menangisi yang tidak penting? Akan tetapi aku diam saja. Sebab, tangis kerapkali menjadi sahabat saat yang lain tak lagi menghiraukan.

Aku, Resyta Gundari. Seorang siswi yang duduk dibangku kelas 12 SMA. Aku memiliki 3 orang adik yang sangat aku sayangi dan mempunyai wanita berhati malaikat yang selalu mendukungku. Dia ibuku. Setiap hari aku selalu berusaha menjalani hariku dengan sangat bahagia. Membagi tawa pada semua orang terdekat, hampir tak ada satupun yang tahu betapa banyak masalah yang sedang kupikul sendiri. Ya, benar karena aku memang sengaja menyembunyikannya dari siapapun. Bahkan akupun juga ingin menyembunyikannya darimu yang sedang asyik membaca tulisanku sampai di kalimat ini. Sudahilah, tutup buku ini lalu jalani hudupmu dengan bahagia. Tak perlu mengintip sedikit kisah piluku lagi, sebab aku tak ingin kau menatapku dengan iba nantinya.

Sore itu, aku mengayuh sepedaku dengan terburu-buru untuk mengantarkan pesanan nasi kotak dari tempatku bekerja. Mengelilingi kota Dolok Masihul, yang jalannya penuh dengan bebatuan. Berbekal sepeda tua bekas almarhum ayahku, sepeda ini selalu menemaniku jikalau aku ingin pergi kemanapun. Kulirik arloji cantik dipergelangan tanganku. Ini juga pemberian almarhum ayahku untuk emak saat masih pacaran dulu. Akan tetapi emak menghadiahinya untukku juga saat ulangtahunku yang ke-17. Dua puluh lima menit lagi aku harus sampai di sekolah untuk mengajar. Kukayuh sepedaku dengan lebih cepat lagi berharap takdir mengizinkan aku untuk sampai tepat waktu.

Treeekkhhtt!!!

Aku berhenti mengayuh, kulihat sepedaku. Ternyata rantainya kembali putus. Ini sangat sering terjadi. Akupun tak bisa meminta emakku untuk membelikanku sepeda lagi. Sudahlah, tak apa. Aku harus hemat, jika tidak, aku tidak akan bisa sekolah. Gaji mengajar pun hanya cukup untuk membayar uang sekolahku dan adik-adikku.

Hanya butuh waktu lima menit, sepedaku kembali berfungsi. Akupun melanjutkan perjalananku mengantarkan nasi kotak. Kali ini dengan penuh kehati-hatian, agar rantai sepedaku tak putus kembali.

Bruuuudgggkkk!!!

            Aku kembali berhenti mengayuh, “Huffhhh! Pasti rantainya copot lagi nih!” Akupun turun dari sepeda untuk kembali memasangkan rantainya. Aku sungguh terkejut! Bagaimana rokku bisa ikut masuk kedalam rantai ini? Sedetik kemudian aku langsung tersadar, ini adalah rok mengajar yang dipinjamkan sekolah untukku mengajar. Bagaimana ini? Tiba-tiba banyak anak jalanan datang kearahku. Sebagian mengangguku dengan tatapan nakalnya, sebagian lagi ada yang terang-terangan  menyorakiku, bahkan ada yang mengejekku. Dan ada juga yang menjatuhkan sepedaku yang memang sudah rusak kian ini. Menjatuhkan sepedaku? Sebentar. Bukankah pesanan nasi kotakku ada distang sepeda?

            Aku menangis melihat mereka membawa kabur nasinya dan membuat kedua pedal sepedaku rusak. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku takut dipecat oleh Bu Susi, majikan tempat aku bekerja mengantarkan nasi kotak. Untuk pergi mengajar pun rasanya tidak mungkin, dengan rok yang sobek hingga lutut ditambah bercak oli bekas sepedaku? Aku semakin menangis, bagaimana aku bisa mengganti rok yang dipinjamkan sekolah ini? Sore ini, hujan kembali mengguyur aku beserta dukaku. Andai ayah tak meninggalkanku pergi selamanya, pasti aku takkan sesedih hari ini. Aku pun memutuskan untuk pulang kerumah sembari menuntun sepedaku.

Sesampainya dirumah, aku terkejut melihat Atiam berdiri didepan teras rumahku. Dia membawa sebuah rantang dan sekotak perhiasan. Dengan senyum cerah dan mata yang hampir tidak terlihat itu, dia menghampiriku yang tengah mendorong sepeda rusakku.

 “Sita, apa yang kamu lakukan? Sepeda tua ini rusak lagi?” Aku hanya menatap jengah dirinya yang masih memamerkan senyumnya.

“Ada apa kau datang kemari Atiam? Aku sibuk. Banyak pekerjaan rumah yang harus aku selesaiakan sebelum emakku pulang dari kebun sawit. Pergilah pulang.” Ucapku lalu masuk kedalam rumah, namun saat hendak menutup pintu tangan Atiam menahanku.

“Sita, sita. Seharusnya kamu tidak perlu la bekerja sekeras itu! Aku akan membebaskanmu dari kemiskinan, asal kamu mau menikah dan masuk kedalam agamaku. Tinggalkan saja keluarga miskinmu ini. Ibuku sudah merestui kita jika kamu mau berpindah agama. Dan seluruh perhiasan ini akan untukmu, Sita.” Mendengar itu, aku langsung marah. Serendah itukah Atiam menganggap diriku sehingga sekotak emas mampu membeli keimananku? Kali ini kemarahanku sungguh tidak bisa tertahankan lagi. Aku langsung membuka pintu dan menampar Atiam.

Takkk!!!

“Aku memang miskin, Atiam. Aku memang anak yatim sejak kecil, dan aku memang anak dari seorang janda yang sedang berjuang menghidupi keempat anaknya. Tapi keimananku tidak mampu kau beli bahkan dengan segunung emas, Atiam! Seperti inikah cara orang kaya sombong sepertimu mempergunakan hartanya, huh! Aku bahkan menyesal pernah berteman dengan orang sepertimu Atiam!” Entah mengapa hatiku sangat sakit diperlakukan seperti ini oleh Atiam, orang yang sangat mengerti diriku, namun itu dulu. Sejak dia kembali dari luar kota karena menyelesaikan sekolahnya, sifatnya sangat berubah. Dia bukan Atiam yang aku kenal.

“Hahaha. Kau sombong sekali Sita. Aku tau kau pasti mencintaiku, tapi kau malu mengungkapkannya. Tidak ada gadis yang mampu menolak pesonaku Sita. Kau seharusnya beruntung, dari banyaknya gadis cantik yang melamarku kerumah, aku malah memilih gadis miskin sepertimu!” Serunya dengan berapi-api. Wajahnya merah padam. Aku tahu Atiam juga tak kalah marah. “Baiklah aku akan pulang, Terimalah makanan ini, adik-adikmu pasti sedang kelaparan.” Atiam melempar rantang makanan yang dibawanya hingga lauk pauk yang didalamnya berserakan di lantai rumahku. Tangisku tak tertahankan, sampai kapan ini akan berakhir?

Kulit putih dan ketampanan khas orang Tionghoa itu tak berhasil mengubah perasaanku padanya. Dia hanya kuanggap sahabat, dan aku menyayanginya tak lebih dari itu. Seharusya dia tidak menaruh perasaan lebih kepadaku. Huh, sudahlah. Aku harus memasak untuk adik-adikku. Kemana mereka? Dari tadi aku tak medengar suaranya. Aku memasuki ruang tamu, tapi mereka tetap tidak ada. Lalu aku menuju dapur. Betapa terkejutnya aku melihat dapur yang sangat kotor. Ada gambar gosong dekat kompor, lantai penuh dengan minyak lampu, kulit telur pecah berceceran, lampu dapur mati, Vita yang tidur dibahu Gina, dan Raja yang sedang bermain masak-masakan dengan sayur bayam persediaan untuk makan malam ini. Belum selesai masalah sepeda, rok, dan kemarahan Bu Susi. Sekarang masalah apa lagi ini Ya Allahhhh…..

“Revita! Regina! Raja! Apa yang kalian buat ini? Kenapa dapur bisa sekotor ini dek? Gimana kalo nanti emak pulang dan dia marah.” Vita dan Gina yang namanya disebutkan, sontak bangun dari tidur mereka. Aku baru sadar ada bekas air mata dikedua pipi adik-adikku itu. Dan Raja? Dia adalah adikku yang paling kecil dan baru pandai berjalan, dia tidak peduli akan kemarahanku, dia masih terus bermain dengan sayur bayam itu.

 “Vita, kau sudah kelas 2 SMP kenapa tak bisa menasehati adik-adikmu. Gina juga sudah kelas 1 SMP, seharusnya sudah mengerti dek. Kenapa Raja bisa main masak-masakan sama bayam ini? Kalian taukan ini untuk makan malam kita? Mau makan apa kita malam ini dek?” Aku menangis melihat semua bayam yang sudah dijadikan masak-masakan oleh Raja.

 “Maafin Vita kak, hiks. kami belum makan dari tadi siang. Makanannya di ambil sama kawan kami. Jajan dek Raja juga diambil sama kawan kelas kami yang jahat. Dek raja juga di gangguin tadi. Makanya pas pulang sekolah, kami langsung beli telur untuk dimasak. Tapi kami gak bisa masak nya dikompor. Hiks, hiks. Makanya kompornya meledak sampai keluar asap.” Jelas Vita, dia kembali menangis, ada gurat penyesalan kulihat dari wajahnya.

“Astaghfirullah. Bagimana ini? Emakku pasti marah kalau tahu kompornya meledak.” Ucapku dalam hati.

“Maafin Gina juga kak, hiks. Tangan Gina sama kak Vita juga kena air panas kak pas mau buat susu dek Raja di tungku belakang, karena kami tau kalo kompornya meledak gara-gara kami, makaya kami pakai tungku belakang kak. Tapi, minyak lampunya malah tumpah karena Gina kak. Hiks hiks, Kami lapar kak sampai kami ketiduran. Gak tau kalo dek Raja berantakin dapurnya kak. Perut kami sakit kak, kata kak Vita minum air aja yang banyak biar laparya hilang. Dek raja juga belum makan kak dari tadi siang. Kami gak punya uang mau belik nasi di depan kak.” Kali ini penjelasan dari Gina. Sama seperti Vita dia pun memangis sambil sesenggukan. Sakit sekali rasanya hatiku melihat pemandangan menyedihkan dari ketiga adikku yang kelaparan.

“Mamama cucu, Aja mamam, yapal. Aja yapal mimik cucu.” Mataku beralih kepada Raja yang sedang berceloteh. Dia pasti kelaparan juga. Aku langsung menggendongnya, sedikit terkejut, badannya hangat, pasti dia sangat lapar. Aku akan masakkan nasi pakai kecap untuk mereka dan membuatkan Raja susu.

“Vita ambilkan beras satu mug ya, biar kakak masakkan untuk kalian.” Vita yang kusuruh hanya diam saja. “Ada apa?” Tanyaku lembut. “Tapi berasnya kak,-” Aku langsung memeriksa berasnya. “Astaghfirullah! dekkk kenapa berasnya bisa kenak minyak lampu semua. Gimana kita bisa makan dek… hiks hiks.” Aku sudah tidak tahan. Lututku lemas, mataku panas tak bisa membendung tangis. Kami berempat menangis di dapur. Aku tak tau apa yang harus kulakukan sekarang. Dan disaat yang bermasaaan dengan tangis kami, emakku pulang.

“Assalamu’alaikum emak pulang nak, dimananya kal,-” Ucapan emak langsung terputus begitu melihat keadaan kami berempat terduduk didapur dengan air mata yang berlinang. Dia langsung memeluk kami dan menangis pilu.

“Oalah bayaaeh….. maafkan emak ya nak, hiks, hiks. Tak bisa emak menjaga kalian, menjaga permata-permata emak.” Emang memeluk kami satu persatu, dan menatapku dengan air mata yang tak kalah derasnya. Sepertinya emak sudah tahu hal seperti ini pasti akan terjadi. “sudah-sudah nanti kompornya biar emak yang perbaiki.” Emak memang sosok yang paling tegar diantara kami, sosok yang selalu menyembunyikan kesulitan yang dihadapinya, meski aku tahu emakku pasti sangat sedih, menampung beban hidup kami berempat sendiri. “Tak makan dari siang kalian yaaa. Lapar kalian kan? Sita, pergi dulu belikan nasi satu bungkus didepan ya nak. Ini duitnya.” Emak memberikan selembar uang sepuluh ribuan kepadaku. Akupun langsung bergegas mengganti rokku terlebih dahulu sebelum keluar.

Ternyata langit masih menangis walau tidak sederas sore tadi. Aku menghela napas gusar, terpaksa membiarkan air hujan membasahiku lagi. Sebab tak ada payung dirumah. Sudah kesekian kalinya cobaan hidup seperti ini tak ingin beranjak dari kehidupanku dan keluargaku. Kulihat tetanggaku memiliki segalanya, rumah bergedung, mobil, ah, sepertinya hidup terlalu mewah tidak selamanya baik-baik saja. Aku sudah sangat bersyukur dengan diriku sendiri yang seperti ini. Meski terkadang aku sulit membedakan apakah yang kujalani ini takdir baik atau malah takdir buruk.

 Cerita ini hanya satu dari kesekian banyak lara yang aku rasa. Seribu kali aku ingin menyerah, tetapi seribu satu kali pula semangat hidupku selalu muncul dengan sendirinya. Aku bersyukur masih memiliki ibu yang kuat dan memiliki mereka sebagai keluargaku. Badai memang akan datang lagi, namun bukan berarti dunia akan berakhir besok. Ibarat akar, aku adalah kunci utama dalam hidupku sendiri. Aku harus bisa belajar memahami bahwa tidak semua yang kita duga hal baik adalah yang terbaik untuk kita dan sebaliknya. Perjalanku membeli nasi bungkus kali ini ditemani rasa lega, sebab aku mulai menemukan secercah titik terang yang mungkin akan membawaku pada diriku versi yang lebih baik lagi. Aku akan menerima sepasang takdir yang datang dalam hidupku dan melepaskan semua rasa menyerah dan putus asa yang selalu hadir menggoyahkan pendirianku.

 Mungkin sekarang aku harus merasakan lukannya terlebih dahulu sebelum merasakan sukanya di kemudian hari. Ini cerita dariku, tentang pengalaman hidup yang penuh lara. Tentang keluarga, persahabatan, dan tentang menerima atau melepaskan apa-apa saja yang seharusnya dilakukan dalam hidup. Aku membagikannya bukan untuk kalian kasihani, melainkan, aku ingin kalian menghargai setiap detiknya dalam hidup kalian. Tidak menyia-nyiakannya begitu saja, apalagi mengganggapnya tidak berharga. Sebab menurutku waktu adalah sebuah keajaiban.

 

SELESAI

 

           

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen

Dunia tulisan