Cerpen

 

Sore Di Surau Yang Suro

Karya: Lisa Anggraini




Aku Gendis. Gendis Kamala Sari. Gadis yang genap berumur 20 tahun pada hari ini. Akan tetapi, jangan berharap akan mendengar kisah membahagiakan seperti tiup lilin atau acara keluarga setiap ulang tahunku, karena itu tidak akan mungkin terjadi. Malah sebaliknya, kelahiranku selalu disamakan dengan hal buruk. Selalu saja aku dilarang melakukan ini dan melakukan ini. Aku seperti manekin hidup yang terus bergerak sesuai perintah keluarga.

Oh iya, aku tinggal bersama dengan seluruh keluarga besarku. Dengan rumah peninggalan almarhumah kakek buyutku. Keluargaku masih kental dengan adat budaya dan tradisi Jawa yang diwariskan leluhurnya, dan hal itu melekat jelas pada kepribadian kedua orangtuaku. Semua hal yang menyangkut pribadi dalam rumah ini, harus mengikuti peraturan yang ada, yakni tunduk pada tradisi yang berlaku.

Dahulu, saat aku masih kanak-kanak, aku sangat suka apabila keluargaku melakukan acara besar, karena pada saat itu akan banyak sekali sesajen lezat dan menggiurkan diletakkan di atas talam belakang dapurku atau jika aku rajin memeriksa pasti selalu ada juga sesaji dalam wujud makanan sebuah bubur di kolong kasur yang siap santap. Awalnya aku heran, tapi lama-kelamaan aku mulai terbiasa dan mulai tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Namun tidak dengan sekarang, aku mulai mempermasalahkannya. Saat ini aku sudah 19 tahun, sudah bisa dibilang gadis yang memasuki usia dewasa dalam berpikir. Namun mengapa semua suaraku bak angin lalu? Suaraku, pendapatku, solusi yang aku berikan juga selalu ditolak. Entah apa yang menjadi masalah dalam keluargaku sehingga akupun dilarang untuk mengambil keputusan.

Oh ayolah, aku hanya ingin liburan ke pantai bersama dengan teman-teman kuliahku. Setidaknya jika tidak bisa meniup lilin di sini aku bisa meniupnya di tempat lain tentunya bersama orang yang bukan bagian dalam keluargaku. It’s okay, aku akan mengenangnya sebagai suatu yang berharga. Tapi sama seperti biasanya, permintaanku ditolak. Dan kali ini kupastikan aku tidak akan mendengarkan mereka. Ada kalanya kita memikirkan keinginan diri sendiri, hidup hanya sekali, setidaknya kita harus memenuhi permintaan diri sendiri meski hanya sesekali. 

Siang itu kulihat arlojiku menunjukkan pukul 14.00 Wib. Aku memutuskan untuk pergi ke pantai sendiri karena temanku sudah pada sampai di sana sedari semalam, yap, mereka menginap. Lalu dengan alasan yang sangat banyak, mulai dari kerkom sampai pada hal urgent yang tentu saja itu hanya kebohonganku belaka aku jelaskan pada kakek dan ayah dan atas desakanku untungnya mereka percaya. Namun kakek kembali mengatakan hal yang jujur… sedikit membuatku takut.

“Jaman dulu, di tanggal ini bulan ini banyak terjadi kejadian menyeramkan, sebab semua orang mengasah ilmu mereka. Baik batin maupun fisik, baik ilmu putih ataupun hitam.” Kulihat kakek menjeda ucapannya dan menyeruput kopi hitam yang kubuat. “Kamu ini sudah dewasa, aku tau, tapi kamu juga harus selalu ingat garis keturunanmu adalah dari raja keraton jawa yang dalam darahmu masih melekat semua ilmu meski semuanya tersegel dan tidak bisa dibuka karena perintahnya. Jika dinampakkan kau akan lebih meminta mati daripada melihatnya sendiri.” Tanpa menghabiskan kopinya, kakek masuk ke dalam rumah dan meninggalkanku beserta kebohongan yang sudah kususun rapi dengan keraguan.

Ah, tapi untuk apa, ini adalah pestaku! Tidak ada hal-hal seperti itu yang akan terjadi!

Aku mulai melupakan perkataan kakek dan bergegas mengambil kunci motorku. Menjalankan rencana yang sudah kususun matang. Kali ini tidak boleh ada keraguan! Namun baru seperempat jalan ban motorku yang depan meledak. Padahal, sebelum pergi sudah kucek dan semuanya aman. Untung kulihat di depan ada sebuah bengkel. Syukurnya pada pukul 14.50 Wib sudah selesai.

Kembali kulajukan motorku, kali ini dengan kecepatan tinggi. Aku tak mau melewati hutan pantai dalam keadaan gelap dan aku juga ingin melihat sunset bersama teman-temanku. Syukurnya pada pukul 15.30 Wib aku sudah melewati hutan tersebut dan sebentar lagi aku akan sampai! Yeay! Aku senang banget!

Namun…seharusnya aku sudah sampai. Tapi kenapa perasaanku mengatakan sedari tadi aku mengulang jalan yang sama? Seharusnya hanya butuh 5 menit dari jalan tadi untuk sampai pantai. Tapi jangankan pantai, wangi pasir dan suara debur ombak saja tak terdengar. Perasaan aku tak salah jalan. Tapi kenapa semuanya berubah ya? Dan sejak kapan di hutan ini ada pemukiman?

Jantungku berpacu hebat, bulir keringan dan air mata seakan menetes bersamaan. Aku kalut. Banyak warga yang menatap bingung kepadaku. Dan ada yang terang-terangan memelototiku. Seketiba, salah satu dari mereka melemparkan batu dan mengenai pelipisku. Darah. Aku berdarah. Aku harus kemana? Kenapa semuanya seperti ini? Aku bergegas lari, meninggalkan motorku, dan berlari tunggang-langgang tak tau arah. Tepat di persimpangan depan, kulihat ada surau. Sepertinya terbuka, aku berniat untuk bersembunyi dan jika memungkinkan aku ingin menumpang sholat ashar, lalu kulihat arlojiku, astaga! Sudah pukul 22.00 malam? Aku melewarkan Ashar, maghrib dan Isya jika tak melirik arloji.

Aku melepas sepatu, dan menyembunyikannya dibalik tempat wudhu berbentuk batu bulat, takut kalau nanti ketahuan warga yang mengejarku tadi. Selepas wudhu aku bergegeas masuk dan melangkahkan kakiku di surau yang sepi ini. Namun dibalik tirai, tepatnya di saf barisan laki-laki aku mengintip. Pemandangan luar biasa menyeramkannya tersuguhkan di depan mataku, dengan tubuhku yang sudah tidak bisa berdiri sempurna, aku melihat dengan jelas, para jemaah itu, beserta imamnya, adalah tubuh-tubuh tanpa organ yang lengkap. Mereka sholat berjamaah dengan darah yang bersimbah di jubah mereka.

Cukup, aku sudah tidak tahan. Kubaca doa dari kakek buyutku yang katanya mampu menyelamatkanku namun selalu kuartikan tahayyul. Dan benar saja, selepas itu semuanya gelap. Aku pingsan. Pemandangan terakhir sebelum semuanya gelap adalah sang imam yang menatapku dengan senyuman tulus namun karena mata yang hampir keluar sebelah dan tangan puntungnya yang melambai, senyumnya malah terlihat menyeramkan.

“Gendis kamu dah sadar nak?” Itu suara ibu. Ibu aku merindukanmu! Teriakku dalam hati.

Ini adalah wangi kamarku. Apakah aku sudah kembali ke kamar? Apakah keluargaku yang membawaku kesini? Bagaimana dengan motorku, membayangkan hal itu aku sudah tidak sanggup, itu benar-benar menyeramkan.

“Sudah kubilang jangan macam-macam di hari ini. Kamu hampir dibawa mereka, musuh-musuh kakek buyutmu jaman pemerintahan kerajaan dulu. Itu hanyalah 10 persen kejadian yang kamu alami. Untung kamu menghafalakan doanya dengan benar, atas pertolongan gusti Allah lewat perantara kakekmu, kamu masih bisa diselamatkan.”

“Satu bulan ragamu koma dan dibawa pada dimensi lain. Aku harap kau tidak meninggalkan barang lainmu di dunia itu. Karena hal itu bisa menarikmu kembali dari sini. Untuk sepeda motormu sudah aku amankan. Sekarang istirahatlah, dan Yudhi, temani putrimu. Jangan biarkan dia sendiri untuk sementara waktu karena ‘mereka’ sepertinya masih mengincarnya.”

Saat hendak melanjutkan tidur karena kantuk yang melanda, aku teringat satu hal. Sepatuku!

“Ayah, tolong, Gendis tidak ingin memasuki dunia itu lagi. Tapi ayah, Gendis meninggalkan sepatu gendis dibalik batu dekat surau.” Sebelum ayah, kakek, dan semuanya menolongku, aku sudah terlempar kembali ke tempat menyeramkan ini.

“Aahh Tidak Ya Tuhan!!!”

Aku harus mengambil sepatuku dan pergi. Situasi kali ini saat sore, di surau kemarin dan di bulan suro yang selalu disakralkan di keluargaku. Namun sebelum aku kembali, imam seram itu kembali memelototiku, namun tidak dengan senyum melainkan cengiran seramnya.

 

 

 

TAMAT-

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen

Cerpen

Dunia tulisan